Nama : Susan Ratnaningrum
Kelas : XI AP 1
Rendemen Bensin Naik 200% (5 kg singkong segar untuk membuat seliter bioetanol)
Rendemen Bensin Naik 200% (5 kg singkong segar untuk membuat seliter bioetanol)
Hanya perlu 2,5 kg singkong segar untuk membuat seliter bioetanol berkadar 95%. Lazimnya membutuhkan 6 kg.
Produsen bioenergi di Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara, Dr
Dudi Djuhdia Sastraatmadja, membuktikan bahwa satu liter bioetanol
berasal dari 2,5 kg singkong. Dudi memanfaatkan singkong utuh, tanpa
kupas. Artinya kulit luar yang berwarna cokelat ia sertakan dalam proses
produksi itu. Menurut Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas
Diponegoro, kulit singkong mengandung 10,59% serat. Serat itu memang
dapat diolah menjadi bioetanol.
Dudi mencacah singkong tanpa kupas itu-setelah mencuci bersih-dan
menghancurkan seukuran tepung berukuran 80 mesh-dengan ukuran partikel
kira-kira 0,177 mm. Lantas ia menambahkan 200% air bersih, dan 5% enzim
aerobik. Enzim aerobik hasil temuan Dudi berbahan herbal. Sayang, ia
menolak menyebutkan herbal-herbal penyusun enzim itu.
Lebih ringkas
Enzim berbentuk cair atau serbuk itu tahan simpan bertahun-tahun dan
mampu menggantikan peran enzim yang diproduksi ragi Saccharomyces sp.
"Peran enzim aerobik untuk mengubah selulosa, hemiselulosa, atau
karbohidrat menjadi glukosa,” tutur pria doktor Biokimia Terapan alumnus
Hokkaido University, Jepang, itu. Jika menggunakan molase sebagai bahan
baku, tahap aerobik tidak lagi diperlukan.
Dudi mengatakan bahwa dengan enzim itu produksi bioetanol tak perlu
fermentasi dengan ragi (lihat ilustrasi: Bioetanol 60 Jam). “Membuat
bioetanol menggunakan ragi itu masa lalu,” kata Dudi. Ayah tiga anak itu
lantas memanaskan larutan pada suhu 60oC selama 4 jam sambil mengaduk. Pemasakan bertujuan untuk menguraikan komponen serat pada selulosa.
Langkah berikutnya adalah menurunkan suhu hingga 40oC,
tetap sambil mengaduk. Ia memindahkan larutan itu ke sebuah wadah
berbahan baku nonlogam, menambahkan 5% enzim buatan yang bersifat
anaerobik, dan menutup wadah itu rapat-rapat. Ia mendiamkan sampai
gelembung habis, paling lama dalam 48 jam. Gelembung itu adalah gas
karbondioksida, yang merupakan hasil sampingan metabolisme anaerob.
Bedanya, fermentasi dengan enzim buatan Dudi tidak melibatkan mikroba
hidup.
Inilah proses fermentasi yang berlangsung selama 48 jam. Dalam proses
produksi bioetanol, fermentasi berperan untuk mengubah glukosa menjadi
etanol. Enzim tiruan itu ternyata lebih baik ketimbang ragi. Dalam 31-55
jam, terbentuk campuran etanol 25-40% dan air. Bandingkan dengan proses
fermentasi yang hanya menghasilkan campuran air dan etanol berkadar
maksimal 18% dalam 60-66 jam.
Hasil fermentasi dengan enzim buatan itu berupa dua lapisan, yakni
air di bagian bawah dan bioetanol di bagian atas. Bobot jenis air lebih
besar, yakni 1 g/cm3; etanol, 0,8 g/cm3. Setelah itu barulah ia menyuling pada suhu 79-810C,
Dudi memperoleh bioetanol berkadar 95%. Rendemen yang mencapai 40% itu
fantastis. Artinya untuk membuat 1 liter bioetanol ia hanya memerlukan
2,5 kg singkong. Itu terjadi peningkatan rendemen hingga 240%. Menurut
Dudi teknologi enzim buatan itu memungkinkan diterapkan pada bahan
bioetanol lain seperti sorgum atau molase.
Dudi bukan hanya sekali-dua kali melakukan produksi bioetanol dengan
enzim bikinannya sendiri. Hingga pertengahan April 2012, ia puluhan kali
membuat bioetanol dengan teknik itu. Pemanfaatannya untuk memasok
industri di Sumatera. Selain produktivitas meningkat, masa produksi
sejak pemarutan hingga usai juga lebih singkat, hanya 60 jam. Teknologi
sebelumnya yang menerapkan proses fermentasi dengan ragi memerlukan
waktu total hingga 96 jam alias 4 hari.
Racun
Apa alasan Dudi meninggalkan fermentasi dengan ragi? Menurut Dudi
dalam fermentasi ragi terjadi penguraian molekul glukosa menjadi bahan
berenergi tinggi dalam bentuk ion hidrogen dan karbondioksida. Molekul
glukosa kehilangan energi dan 1 atom hidrogen, sehingga berubah menjadi
produk samping, yakni asetaldehida yang sangat beracun. Kehadiran
asetaldehida membahayakan kehidupan sel ragi sehingga sel mengubah zat
itu menjadi alkohol.
Sejatinya, alkohol pun masih mengancam kehidupan sel ragi. “Itu
alasan mengapa kadar etanol hasil fermentasi ragi hanya berkisar belasan
persen,” ungkap ahli bioenergi dari Departemen Teknik Kimia Institut
Teknologi Bandung, Dr Tatang Soerawidjaja. Jika kadar alkohol terlalu
tinggi, sel ragi mati. Menurut Tatang, sebenarnya sel ragi melakukan
fermentasi karena terpaksa. Jika boleh memilih, pasti sel ragi akan
memilih lingkungan beroksigen.
Pada akhir proses, metabolisme anaerobik hanya menghasilkan dua
molekul energi, berbentuk 2 molekul ATP (adenosina trifosfat).
Bandingkan dengan metabolisme aerobik yang menghasilkan hingga 32
molekul ATP. Namun, metabolisme aerobik sel ragi tidak memberikan hasil
yang bermanfaat bagi manusia. Itu berarti ragi dalam fermentasi berjasa
sekaligus merugikan.
Ragi berjasa karena ragi mengubah glukosa menjadi etanol, tapi
merugikan karena sel ragi membatasi kadar etanol yang dihasilkan. Jika
demikian, “Hilangkan saja raginya,” kata Dudi. Itulah sebabnya, Dudi
berupaya meniadakan fermentasi dengan ragi dalam proses produksi
bioetanol. Ia lantas meriset selama 8 bulan hingga menemukan enzim
pengganti fermentasi.
Ahli bioetanol dari Pusat Surfaktan dan Bioenergi Institut Pertanian
Bogor, Roy Hendroko, mengatakan, “Jika benar ada penemuan tersebut, hal
itu menjadi terobosan.” Selama ini, penelitian untuk mempercepat
fermentasi masih skala riset yang belum bisa diterapkan di lapang.
Sedangkan Dr Tatang menyangsikan inovasi Dudi sebelum menyaksikan dengan
mata kepala sendiri. (Argohartono Arie Raharjo)
Keterangan Foto :
- Bioetanol 99,5% jernih seperti air
- Selulosa dari serbuk gergaji bisa menjadi bioetanol
- Dr Dudi Djuhdia Sastraatmadja: Fermentasi dengan ragi itu masa lalu
0 komentar:
Posting Komentar