Industri pembuatan kain
batik, baik skala kecil maupun menengah, hendaknya menggunakan pewarna
alami daripada pewarna tekstil sintetis. Limbah hasil pencelupan batik
dengan pewarna alami dinilai lebih aman dan tidak menimbulkan dampak
pencemaran lingkungan.
Alasannya adalah karena
pewarnaan tersebut berasal dari alam, dengan sendirinya zat-zat yang
terkandung dalam pewarna alami dapat mudah terurai. Berbeda dengan
pewarna tekstil sintetis yang sulit terurai di alam, hal ini sesuai
dengan perkataan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah
(Bapedalda) DIY, Harnowati,
Limbah dengan pewarna
tekstil sintetis akan mencemari sumber-sumber air warga, baik yang
dibuang ke sungai, atau yang dibuang ke tanah karena akan mudah masuk ke
sumur. Dampak pencemaran baru terasa setelah beberapa puluh tahun
kemudian, terutama bagi kesehatan warga, yakni ancaman kanker atau
gangguan pencernaan akibat akumulasi zat-zat berbahaya yang masuk ke
dalam tubuh melalui air minum.
Menurut pantauan Bapedalda
DIY, tingkat pencemaran air sungai maupun air bawah tanah oleh limbah
hasil pencelupan batik masih dalam ambang toleransi. Akan tetapi,
pencemaran ini harus diantisipasi sejak awal agar tidak sampai ke tahap
mengkhawatirkan seperti yang terjadi di beberapa sentra batik di Jawa
Tengah, seperti Solo dan Pekalongan.
Pewarnaan dengan bahan dasar
alam yang biasa dibuat berupa pasta warna biru yang berasal dari olahan
daun indigo. Selain warna biru, terdapat pula pasta dengan warna-warna
lain seperti coklat dari hasil rendaman kayu mahoni, coklat kemerahan
dari buah enau, atau hijau dan kuning yang berasal dari rendaman aneka
dedaunan. Namun jumlah produksi pasta warna alami masih terbatas, karena
tidak dibuat secara massal.
So., let’s save our planet with batik!!
.
.
.
Posted by Fauzi Mulyana
0 komentar:
Posting Komentar